Raden Oma Irama yang populer dengan nama
Rhoma Irama lahir di
Tasikmalaya, 11 Desember 1946,
Pria ‘ningrat’ ini merupakan putra kedua dari empat belas bersaudara,
delapan laki-laki dan enam perempuan (delapan saudara kandung, empat
saudara seibu dan dua saudara bawaan dari ayah tirinya). Ayahnya, Raden
Burdah Anggawirya, seorang komandan gerilyawan Garuda Putih, memberinya
nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara Irama Baru asal
Jakarta yang pernah diundangnya untuk menghibur pasukannya di
Tasikmalaya. Sebelum pindah ke Tasikmalaya, keluarganya tinggal di
Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam dilahirkan.
Sebelum pindah ke Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah kakaknya,
Haji Benny Muharam dilahirkan. Setelah beberapa tahun tinggal di Tasikmalaya, keluarganya termasuk kakaknya, Haji Benny Muharam, dan adik-adiknya,
Handi dan
Ance,
pindah lagi ke Jakarta lalu tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri,
kemudian pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di sinilah mereka menghabiskan
masa remaja sampai tahun 1971 lalu pindah lagi ke Tebet.
Semenjak
kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti setiap
kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol,
ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika
masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD, ia sudah bisa membawakan
lagu-lagu Barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other
Love, kesayangan ibunya, dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang
dinyanyikan oleh Lata Maagiskar. Selain itu, ia juga menikmati lagu-lagu
Timur Tengah yang dinyanyikan
Umm Kaltsum.
Bakat
musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan
menyanyikan lagu-lagu Cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain
itu, pamannya yang bernama Arifin Ganda suka mengajarinya lagu-lagu
Jepang ketika Rhoma masih kecil. Pengalamannya menyanyikan lagu-lagu
India sewaktu masih sekolah dasar, lagu-lagu pop dan rock Barat hingga
akhir 1960-an lalu beralih ke musik Melayu, menjadikan lagu dan musik
yang dibawakannya di atas panggung lebih dinamis, melodis dan menarik.
Karena
usia Rhoma dengan kakaknya Benny tidak berbeda jauh, mereka selalu
kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang lebih sering
malas ikut mengaji di surau atau rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti
pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah ibunya bertanya apakah kakaknya
ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ya. Ke sekolahpun mereka berangkat
bersama-sama. Dengan berboncengan sepeda, keduanya berangkat dan pulang
ke sekolah di SD Kibono, Manggarai.
Di bangku SD, bakat menyanyi
Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang paling rajin bila
disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Dan uniknya, Rhoma tidak
sama dengan murid-murid lain yang suka malu-malu di depan kelas. Rhoma
menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai ke kelas-kelas lain.
Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu
anak-anak atau lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.
Bakatnya
sebagai penyanyi mendapat perhatian penyanyi senior, Bing Slamet karena
melihat penampilan Rhoma yang mengesankan ketika menyanyikan sebuah
lagu Barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari ketika Rhoma
masih duduk di kelas 4, Bing membawanya tampil dalam sebuah show di
Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan
pengalaman yang membanggakan bagi Rhoma.
Sejak itu, meski belum
berpikir untuk menjadi penyanyi, Rhoma sudah tidak terpisahkan lagi dari
musik. Dengan usaha sendiri, ia belajar memainkan gitar hingga mahir.
Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya
marah besar. Setiap kali ia pulang sekolah, yang pertama dia cari adalah
gitar. Begitu pula setiap kali ia keluar rumah, gitar hampir selalu ia
bawa.
Pernah suatu kali, ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya,
tetapi Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulahnya itu,
ibunya merampas gitarnya lalu melemparkannya ke arah pohon jambu hingga
pecah. Kejadian itu membuat sedih Rhoma karena gitar adalah teman nomor
satu baginya.
Dalam perkembangannya dalam mendalami musik, Rhoma
mulai menyadari bahwa meskipun ayah dan ibunya – pasangan berdarah
ningrat – adalah penggemar musik, mereka tetap menganggap dunia musik
bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan atau dijadikan sebuah profesi.
Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia menyanyi dan
beranggapan bahwa musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan ini
membuat bakat musik Rhoma justru semakin berkembang dari luar rumah
karena di dalam rumah ia kurang mendapat dukungan.
Sewaktu Rhoma masih kelas 5 SD tahun 1958, ayahnya meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak, yaitu,
Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni, Herry, dan
Yayang. Ketika
kakaknya, Benny masih duduk di kelas 1 SMP, ibunya menikah lagi dengan
seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya, yang masih ada hubungan famili
dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari
istrinya yang terdahulu dan setelah menikah dengan Ibu Rhoma, sang ibu
melahirkan dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup, suasana di rumahnya feodal.
Sehari-hari ayah dan ibunya berbicara dengan bahasa Belanda. Segalanya
harus serba teratur dan menggunakan tata krama tertentu. Para pembantu
harus memanggil anak-anak dengan sebutan Den (raden). Anak-anak harus
tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan
menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan,
misalnya bermain hujan atau membolos sekolah.
Keadaan keluarga
Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan
dengan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan mereka memiliki
beberapa mobil seperti Impala, mobil yang tergolong mewah di zaman itu.
Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana
feodal itu tidak lagi kental setelah ayah tiri-nya hadir di
tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan dari ayah tiri inilah, di samping
pamannya, Rhoma mendapat ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya.
Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat-alat musik akustik berupa
gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak
rupanya bukan hanya dunia musik. Rhoma juga suka adu jotos dengan
anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras.
Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng, dan satu geng
dengan geng lainnya saling bermusuhan, atau setidaknya saling bersaing.
Dengan demikian, perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Di
Bukitduri tempat tinggalnya, hampir setiap kampung di daerah itu
terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukit Duri
Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Dari
Bukitduri Puteran, dan dari Manggarai banyak anak muda yang bergabung
dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan
selalu hampir terjadi setiap kali mereka bertemu.
Satu hal yang
cukup menonjol pada diri Rhoma adalah teman-temannya hampir selalu
menjadikan Rhoma sebagai pemimpin. Tentu saja, bila gengnya bentrok
dengan geng lain, Rhomalah yang diharapkan tampil paling depan, untuk
berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali, Rhoma juga sering
mengalami babak belur, bahkan pernah luka cukup parah karena dikeroyok
15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP, tempat-tempat
berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma, ilmu bela diri
nasional ini tidaklah asing, karena sejak kecil ia sudah mendapat
latihan dari ayahnya dan beberapa guru silat lainnya. Rhoma pernah
belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) pada Pak
Rohimin di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat
Sigundel di Jalan talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila
terjadi perkelahian antar geng, para anggota geng saling menjajal ilmu
silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah
maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas, sehingga karena malu maka
ia acapkali berpindah sekolah. Kelas Tiga SMP dijalaninya di Medan.
Ketika itu ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama
kemudian ia sudah pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan
Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Sewaktu bersekolah di SMA
Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena
ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di
luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di luar dan dalam sekolah
membuatnya acapkali keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII
Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, St
Joseph di Solo, dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet,
Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Di masa SMA lah Rhoma sempat
melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan
Kota Solo. Di sana dia ditampung di rumah seorang pengamen bernama Mas
Gito. Sebenarnya, sebelum ‘terdampar’ di Solo, ia berniat hendak belajar
agama di Pesantren Tebuireng Jombang. Namun, karena tidak membeli
karcis, Rhoma, Benny kakaknya, dan tiga orang temannya, Daeng, Umar, dan
Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam
perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan lalu diturunkan
di tempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu Jogja.
Dari Jogja, mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Di Solo, Rhoma
melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolah diperolehnya
dari mengamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari
Jakarta. Namun, karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus
pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai
akhirnya lulus tahun 1964. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas
Sosial Politik Universitas 17 Agustus, tapi hanya bertahan satu tahun
karena ketertarikan Rhoma kepada dunia musik sudah terlampau besar.
Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi
ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari
band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes
Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama
Soneta
yang sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang
dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah memperoleh 11 Golden Record dari
kaset-kasetnya.
Tahun 1972, ia menikahi
Veronica yang kemudian memberinya tiga orang anak,
Debby (31), Fikri (27) dan
Romy (26). Tetapi sayang, Rhoma akhirnya bercerai dengan Veronica bulan Mei 1985 setelah sekitar setahun sebelumnya Rhoma menikahi
Ricca Rachim
– partner-nya dalam beberapa film seperti Melodi Cinta, Badai di Awal
Bahagia, Camellia, Cinta Segitiga, Melodi Cinta, Pengabdian,
Pengorbanan, dan Satria Bergitar. Hingga sekarang, Ricca tetap
mendampingi Rhoma sebagai istri.
Kesuksesannya di dunia musik dan
dunia seni peran membuat Rhoma sempat mendirikan perusahaan film Rhoma
Irama Film Production yang berhasil memproduksi film, di antaranya
Perjuangan dan Doa (1980) serta Cinta Kembar (1984).
Kini, Rhoma
yang biasa dipanggil Pak Haji ini, banyak mengisi waktunya dengan
berdakwah baik lewat musik maupun ceramah-ceramah di televisi hingga ke
penjuru nusantara. Dengan semangat dan gaya khasnya, Rhoma yang
menjadikan grup Soneta sebagai Sound of Moslem terus giat meluaskan
syiar agama.
Referensi :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Rhoma_Irama
- http://pojokearashi.wordpress.com/2009/04/30/biografi-roma-irama/
Klik Teman Duet Rhoma Irama