“MAAF ya bu saya belum bisa bayar hutang saya.” kata wanita tua itu mengiba, sedangkan ibu di hadapannya menghela nafas gusar.
“Kan ibu Neneng janji bayar hutangnya setelah resepsi pernikahan Angga, ini sudah seminggu lebih.” Ibu Neneng terdiam, sekejap ia menutup matanya, ada luapan perasaan yang seolah ingin dimuntahkannya.
“Ternyata hasil kotak pernikahan anak saya cuma 8 juta bu.” kata-katanya tertahan.
“Saya sungguh tidak melebih-lebihkan bu Yuyun, sungguh.”
“HAH? Masa` sih bu… “ Ibu Yuyun terperangah.
“Iya bu, saya sendiri dan keluarga besan yang menghitung kotak itu setelah acara resepsi pernikahan Ayu dan Angga selesai.”
“Hajatan Ibu Neneng kemarin itu mewah loh di gedung, makanannya enak-enak, sovenirnya saja selendang, belum lagi saya lihat tamu-tamu yang datang kebanyakan orang berdasi. Mungkin besan ibu main di belakang Bu Neneng kali.” Kata Ibu nyinyir.
“Enggak Ibu, saya percaya sama besan saya. Sebelum saya berhutang ibu Yuyun kan sudah saya ceritakan tentang keadaan saya, di mana saya dan anak saya harus menyediakan uang 100 juta untuk kelancaran pernikahan anak saya. Itu pun Angga hanya mampu memberikan 45 juta ditambah hutang saya ke Ibu Yuyun sebesar 15 juta rupiah. Saya juga sungguh tidak menyangka akan jadi seperti ini belum lagi hutang-hutang kami yang lainnya.”
“Terus saya harus gimana dong, bu Neneng pasti akan bayar kan?”
“Iya bu, saya pasti akan membayarnya karena saya tidak mau hutang itu membebani saya nantinya di hadapan Allah. Tapi saya minta waktu, sejujurnya ibu bisa lihat sendiri keadaan rumah saya beberapa alat elektronik saya seperti kulkas, Tv dan lainnya sudah tidak ada karena sudah dijual untuk menutupi sebagian hutang.”
Seorang teman menuturkan kepada saya bahwa setelah pernikahannya hari-hari yang dilaluinya bersama suami bukanlah kebahagiaan yang paripurna, tak seperti laiknya pasangan lain yang tenggelam dalam lautan cinta.
Ia dan suami harus berenang-renang di atas tumpukan hutang untuk membiayai pesta pernikahan yang terbilang mewah saat itu. Bahkan masa-masa sulit itu harus dilaluinya selama 2 tahun lebih. Dengan kerja keras dari keduanya, maka hutang itu telah lunas. Baru setelah itu pasangan suami-istri itu pun bisa bernafas lega.
Akan jauh lebih bijak bila kita tidak menyalahkan kedua PASUTRI itu yang ‘hanya’ untuk sebuah pesta pernikahan saja sampai berani berhutang hingga sampai puluhan juta. Ini karena, pernikahan terjadi bukan hanya antar mereka berdua tetapi keluarga kedua belah pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab.
Tentu kita sering mendengar bahwasanya terkadang untuk merelakan anak gadisnya dipinang, ada orangtua atau banyak orang tua mengharuskan sang calon untuk menyediakan uang dengan jumlah tertentu. Pernahkah anda mengalami hal itu?
Saat itu setelah pesta pernikahan usai, kedua mempelai segera turun dari pelaminan dan bergegas menanggalkan pakaian adat yang dikenakannya, walaupun ada beberapa tamu yang masih duduk-duduk santai di sekitar aula, tetap tak dihiraukannya jua.
Sampai di sebuah ruangan, sepasang pengantin itu langsung membuka kotak-kotak dan mengelurkan amplop di dalamnya. Hati mereka berdebar-debar bukan karena ketegangan malam pengantin tapi karena hutang-hutang yang segera harus dilunasi seperti biaya wardrobe serta dekorasi, catering(katering), pelunasan sewa gedung dan biaya lainnya.
Mereka berdua sangat serius menghitung. Si wanita bertugas membuka amplop-amplop sambil sesekali menggerutu dan mendengus kesal karena amplop yang dibuka beberapa tidak berisi uang bahkan diisi dengan permen dan gambar. Sedangkan si pria terus berhitung dan merapikan lembar demi lembar uang yang juga terselip recehan ribuan.
Mereka mengagungkan momen pesta pernikahan dengan seindah mungkin, sesempurna bahkan harus sesuai dan persis dengan pernikahan yang diimpikan. Sepasang pengantin bak raja dan ratu di pelaminan walaupun hanya sehari. Apa itu salah? Setiap kita memiliki jawaban berbeda. Jika ia memang mampu tidak ada salahnya. Tentu, itu kembali kepada niat masing-masing kita karena setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Di sisi lain, juga tidak menyalahi syari`at.
Pada dasarnya, kita menikah dengan berbagai tujuan seperti: mengindari zina, menjaga diri, menjalankan sunnah dan lain sebagainya. Yang jelas tujuannya harus karena Allah SWT dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah(QS. Ar-Rum[30]: 21) dan menjaga itu semua agar tidak terkotori oleh nilai-nilai gengsi, tuntutan gaya hidup, ria` sampai tidak melukai saudara-saudara kita yang tak kunjung menikah karena terhalang biaya, lantas hatinya teriris karena melihat pernikahan mewah nan meriah saudaranya. Sudahkah kita bersih dari itu semua?
Bagi mereka yang mampu tidak ada yang sulit untuk itu semua; menggunakan WO ternama, gedung dengan biaya sewa puluhan hingga ratus juta rupiah, bahkan sampai pesta perhelatan yang digelar bermalam-malam pun tidak ada masalah bagi mereka.
Namun imbasnya sangat mengena ke mereka-mereka yang ingin menikah namun sang calon mertua tak ingin anaknya dinikahi dengan pesta ala kadarnya maka jalan akhirnya bela-belain ngutang! Balik lagi ke contoh kasus di atas dan masih banyak kisah lainnya yang lebih tak manusiawi terjadi di masyarakat kita.
Lain lagi dengan kebanyakan dari kita yang sebelum datang ke hajatan atau pesta orang lain terlebih dahulu melihat daftar catatan ‘hutang’. Maksudnya: “Sewaktu hajatan kita kemarin orang ini amplopin berapa?” dan itulah yang akan kita kembalikan sesuai dengan apa yang telah kita terima dan sejumlah itulah yang kita kembalikan. Seperti itulah yang terjadi di masyarakat kita, pernikahan atau hajatan lainnya adalah wadah transaksi di mana ada yang harus dibayar dan dikembalikan.
Jadi, wajar bila acara pernikahan acap kali menuntut hasil yang setimpal untuk melunasi hutang yang dipakai sebagai biaya pernikahan. Bila kenyataan yang diharapkan tidak sesuai, maka hanya kekecewaan yang akan menderanya. Inilah yang menjadi ironi di balik resepsi pernikahan sebagaimana cerita di atas.
Supaya tidak terjadi demikian,–sebagai penutup- kita perlu meneladani petunjuk Islam dalam menghelat resepsi pernikahan.
Pertama, tidak boleh memaksakan diri kalau memang tidak mampu. Yang menjadi biang masalah kebanyakan orang ialah sering kali –atas nama gengsi- memaksakan diri menuruti keinginan pribadi, tanpa melihat kemampuan diri.
Dalam kitab Syu`abu al-Iman karya Imam Baihaqi menyebut riwayat Salman:
لَا يَتَكَلَّفَنَّ أَحَدٌ لِلضَّيْفِ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ
Intinya, kita dilarang memaksakan diri untuk menjamu seseorang dengan sesuatu yang tidak kita miliki, sehingga malah menyusahkan diri. Masalah tadi bermula ketika orang tua memaksa diri berhutang demi menyelenggarakan resepsi pernikahan. Akhirnya, yang diraih malah kesusahan.
Kedua, hendaknya para orang tua mempermudah proses pernikahan anak, bukan malah mempersulitnya jika memang sudah cocok dan bagus agamanya. Nabi sendiri pernah menikahkah orang dengan hanya bermahar cincin besi, bahkan ada yang bermahar beberapa hafalan ayat al-Qur`an. Ini berarti, nabi menganjurkan untuk mempermudah jalan pernikahan, sesuai dengan kemampuan.
Dalam al-Qur`an pun, kita bisa melihat bagaimana Nabi Syua`ib tidak mau mempersulit Nabi Musa ketika hendak menikahkannya dengan putrinya:
{وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ} [القصص: 27]
“Maka aku tidak hendak memberati kamu.” (QS. Al-Qoshoh [28]: 26). Namun, ini semua bukan berarti, terlalu menggampangkan pernikahan sehingga ala kadarnya padahal sejatinya mampu lebih dari itu, karena nabi sendiri juga pernah mencontohkan memberi mahar layak dan juga menghelat “resepsi” pernikahan. Wallahu a`lam.
*/Mesti Farah, blogger dan mahasiswi STAI Thawalib Jakarta
“Kan ibu Neneng janji bayar hutangnya setelah resepsi pernikahan Angga, ini sudah seminggu lebih.” Ibu Neneng terdiam, sekejap ia menutup matanya, ada luapan perasaan yang seolah ingin dimuntahkannya.
“Ternyata hasil kotak pernikahan anak saya cuma 8 juta bu.” kata-katanya tertahan.
“Saya sungguh tidak melebih-lebihkan bu Yuyun, sungguh.”
“HAH? Masa` sih bu… “ Ibu Yuyun terperangah.
“Iya bu, saya sendiri dan keluarga besan yang menghitung kotak itu setelah acara resepsi pernikahan Ayu dan Angga selesai.”
“Hajatan Ibu Neneng kemarin itu mewah loh di gedung, makanannya enak-enak, sovenirnya saja selendang, belum lagi saya lihat tamu-tamu yang datang kebanyakan orang berdasi. Mungkin besan ibu main di belakang Bu Neneng kali.” Kata Ibu nyinyir.
“Enggak Ibu, saya percaya sama besan saya. Sebelum saya berhutang ibu Yuyun kan sudah saya ceritakan tentang keadaan saya, di mana saya dan anak saya harus menyediakan uang 100 juta untuk kelancaran pernikahan anak saya. Itu pun Angga hanya mampu memberikan 45 juta ditambah hutang saya ke Ibu Yuyun sebesar 15 juta rupiah. Saya juga sungguh tidak menyangka akan jadi seperti ini belum lagi hutang-hutang kami yang lainnya.”
“Terus saya harus gimana dong, bu Neneng pasti akan bayar kan?”
“Iya bu, saya pasti akan membayarnya karena saya tidak mau hutang itu membebani saya nantinya di hadapan Allah. Tapi saya minta waktu, sejujurnya ibu bisa lihat sendiri keadaan rumah saya beberapa alat elektronik saya seperti kulkas, Tv dan lainnya sudah tidak ada karena sudah dijual untuk menutupi sebagian hutang.”
***
FAKTA, itulah yang terjadi. Di saat ingar-bingar acara pesta
pernikahan telah usai maka yang tersisa sering kali hanyalah hutang.
Dengan mengatasnamakan gengsi atau momen sekali seumur hidup maka sudah
menjadi keharusan bila sebuah pernikahan –dalam tradisi kita- kebanyakan
ada pesta atau hajatan. Sedangkan sebagiannya lagi memaksakan walau
dalam keterbatasan hanya untuk memenuhi tuntutan tergelarnya pernikahan
yang katanya ‘diidam-idamkan’.Seorang teman menuturkan kepada saya bahwa setelah pernikahannya hari-hari yang dilaluinya bersama suami bukanlah kebahagiaan yang paripurna, tak seperti laiknya pasangan lain yang tenggelam dalam lautan cinta.
Ia dan suami harus berenang-renang di atas tumpukan hutang untuk membiayai pesta pernikahan yang terbilang mewah saat itu. Bahkan masa-masa sulit itu harus dilaluinya selama 2 tahun lebih. Dengan kerja keras dari keduanya, maka hutang itu telah lunas. Baru setelah itu pasangan suami-istri itu pun bisa bernafas lega.
Akan jauh lebih bijak bila kita tidak menyalahkan kedua PASUTRI itu yang ‘hanya’ untuk sebuah pesta pernikahan saja sampai berani berhutang hingga sampai puluhan juta. Ini karena, pernikahan terjadi bukan hanya antar mereka berdua tetapi keluarga kedua belah pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab.
Tentu kita sering mendengar bahwasanya terkadang untuk merelakan anak gadisnya dipinang, ada orangtua atau banyak orang tua mengharuskan sang calon untuk menyediakan uang dengan jumlah tertentu. Pernahkah anda mengalami hal itu?
Saat itu setelah pesta pernikahan usai, kedua mempelai segera turun dari pelaminan dan bergegas menanggalkan pakaian adat yang dikenakannya, walaupun ada beberapa tamu yang masih duduk-duduk santai di sekitar aula, tetap tak dihiraukannya jua.
Sampai di sebuah ruangan, sepasang pengantin itu langsung membuka kotak-kotak dan mengelurkan amplop di dalamnya. Hati mereka berdebar-debar bukan karena ketegangan malam pengantin tapi karena hutang-hutang yang segera harus dilunasi seperti biaya wardrobe serta dekorasi, catering(katering), pelunasan sewa gedung dan biaya lainnya.
Mereka berdua sangat serius menghitung. Si wanita bertugas membuka amplop-amplop sambil sesekali menggerutu dan mendengus kesal karena amplop yang dibuka beberapa tidak berisi uang bahkan diisi dengan permen dan gambar. Sedangkan si pria terus berhitung dan merapikan lembar demi lembar uang yang juga terselip recehan ribuan.
Mereka mengagungkan momen pesta pernikahan dengan seindah mungkin, sesempurna bahkan harus sesuai dan persis dengan pernikahan yang diimpikan. Sepasang pengantin bak raja dan ratu di pelaminan walaupun hanya sehari. Apa itu salah? Setiap kita memiliki jawaban berbeda. Jika ia memang mampu tidak ada salahnya. Tentu, itu kembali kepada niat masing-masing kita karena setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Di sisi lain, juga tidak menyalahi syari`at.
Pada dasarnya, kita menikah dengan berbagai tujuan seperti: mengindari zina, menjaga diri, menjalankan sunnah dan lain sebagainya. Yang jelas tujuannya harus karena Allah SWT dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah(QS. Ar-Rum[30]: 21) dan menjaga itu semua agar tidak terkotori oleh nilai-nilai gengsi, tuntutan gaya hidup, ria` sampai tidak melukai saudara-saudara kita yang tak kunjung menikah karena terhalang biaya, lantas hatinya teriris karena melihat pernikahan mewah nan meriah saudaranya. Sudahkah kita bersih dari itu semua?
Bagi mereka yang mampu tidak ada yang sulit untuk itu semua; menggunakan WO ternama, gedung dengan biaya sewa puluhan hingga ratus juta rupiah, bahkan sampai pesta perhelatan yang digelar bermalam-malam pun tidak ada masalah bagi mereka.
Namun imbasnya sangat mengena ke mereka-mereka yang ingin menikah namun sang calon mertua tak ingin anaknya dinikahi dengan pesta ala kadarnya maka jalan akhirnya bela-belain ngutang! Balik lagi ke contoh kasus di atas dan masih banyak kisah lainnya yang lebih tak manusiawi terjadi di masyarakat kita.
Lain lagi dengan kebanyakan dari kita yang sebelum datang ke hajatan atau pesta orang lain terlebih dahulu melihat daftar catatan ‘hutang’. Maksudnya: “Sewaktu hajatan kita kemarin orang ini amplopin berapa?” dan itulah yang akan kita kembalikan sesuai dengan apa yang telah kita terima dan sejumlah itulah yang kita kembalikan. Seperti itulah yang terjadi di masyarakat kita, pernikahan atau hajatan lainnya adalah wadah transaksi di mana ada yang harus dibayar dan dikembalikan.
Jadi, wajar bila acara pernikahan acap kali menuntut hasil yang setimpal untuk melunasi hutang yang dipakai sebagai biaya pernikahan. Bila kenyataan yang diharapkan tidak sesuai, maka hanya kekecewaan yang akan menderanya. Inilah yang menjadi ironi di balik resepsi pernikahan sebagaimana cerita di atas.
Supaya tidak terjadi demikian,–sebagai penutup- kita perlu meneladani petunjuk Islam dalam menghelat resepsi pernikahan.
Pertama, tidak boleh memaksakan diri kalau memang tidak mampu. Yang menjadi biang masalah kebanyakan orang ialah sering kali –atas nama gengsi- memaksakan diri menuruti keinginan pribadi, tanpa melihat kemampuan diri.
Dalam kitab Syu`abu al-Iman karya Imam Baihaqi menyebut riwayat Salman:
لَا يَتَكَلَّفَنَّ أَحَدٌ لِلضَّيْفِ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ
Intinya, kita dilarang memaksakan diri untuk menjamu seseorang dengan sesuatu yang tidak kita miliki, sehingga malah menyusahkan diri. Masalah tadi bermula ketika orang tua memaksa diri berhutang demi menyelenggarakan resepsi pernikahan. Akhirnya, yang diraih malah kesusahan.
Kedua, hendaknya para orang tua mempermudah proses pernikahan anak, bukan malah mempersulitnya jika memang sudah cocok dan bagus agamanya. Nabi sendiri pernah menikahkah orang dengan hanya bermahar cincin besi, bahkan ada yang bermahar beberapa hafalan ayat al-Qur`an. Ini berarti, nabi menganjurkan untuk mempermudah jalan pernikahan, sesuai dengan kemampuan.
Dalam al-Qur`an pun, kita bisa melihat bagaimana Nabi Syua`ib tidak mau mempersulit Nabi Musa ketika hendak menikahkannya dengan putrinya:
{وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ} [القصص: 27]
“Maka aku tidak hendak memberati kamu.” (QS. Al-Qoshoh [28]: 26). Namun, ini semua bukan berarti, terlalu menggampangkan pernikahan sehingga ala kadarnya padahal sejatinya mampu lebih dari itu, karena nabi sendiri juga pernah mencontohkan memberi mahar layak dan juga menghelat “resepsi” pernikahan. Wallahu a`lam.
*/Mesti Farah, blogger dan mahasiswi STAI Thawalib Jakarta
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
http://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2016/05/07/94393/ironi-di-balik-resepsi-pernikahan.html